Kompetisi Cerpen “Indonesia dan Pena”
Aku Sangat Menyayangimu, Ibu..
Parangtritis, 30 Juni 2011
Kutatap lautan yang terbentang luas. Garis batas yang memisahkan langit dan laut tampak jelas di hadapanku, membayangkan ada benua yang dikenal sebagai negara Kanguru, kapan aku bisa kesana atau apakah aku memang benar-benar bisa menginjakkan kakiku disana, ah lagi lagi aku mencoba menguatkan diriku bahwa aku pasti bisa! Seketika terik hangat sinar maratahari sore membuyarkan lamunanku, teringat kata-kata ibu....
Sudah lebih dari setengah tahun Ibu dan Adikku dipanggil Yang Maha Kuasa, tentu Ibu mungkin sangat senang disana dapat berkumpul dengan suami yang sangat dicintai dan dirindukannya. Kali ini aku sadar bahwa Aku mulai menangis, kali ini aku sungguh merindukan mereka, ingin rasanya memeluk erat Ibu, membelikan permen lolipop kesukaan untuk Rana, adik perempuanku. entah ini sebuah penyesalan atau bukan karena tidak bisa lagi melakukan itu untuk terakhir kalinya, tapi dada ini sangat sangat sesak kurasakan derai air mataku yang sesekali kutahan. Ibu aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi, tapi untuk kali ini maafkanlah aku yang tidak bisa menahan lagi luapan rasa rindu padamu. Untuk sekian kalinya aku mengingat kembali peristiwa itu. Peristiwa dimana Ibu dan Adikku berpulang untuk selama-lamanya.
November 2010
Seperti bisa aku kesal dengan adikku yang selalu membuat kami terlambat datang ke sekolah, walaupun SD ku bersebelahan dengan TK nya, tapi jarak sekolah kami dari rumah cukup jauh karena berbeda desa sehingga kami harus berangkat lebih awal agar sampai ke sekolah tepat waktu. Bukan karena Rana bangun kesiangan, tetapi hampir setiap hari Ia tidur lagi sehabis sholat Subuh. Dan seperti biasa dengan wajah imutnya, potongan rambut seperti Dora, tokoh kartun yang kami sering tonton di TV Ia berkata sambil memejamkan mata “Mas Randi jangan lupa bangunin Rana ya, Ma Randi baiiiiiiik deh, nanti sepulang sekolah Rana belikan permen lolipop buat Mas Randi”. Belum sempat membalas ucapannya Rana langsung menyelimuti tubuhnya, sepertinya Ia tahu bahwa Masnya akan memarahinya. Kebiasaannya tidur setelah Subuh dimulai saat Ayah tidak lagi bersama kami. Beliau adalah seorang awak kapal yang bekerja untuk sebuah perusahaan minyak besar, aku hanya pernah mendengar sekali dari ayah bahwa pekerjaan itu sangat menyenangkan bagi ayah. Padahal aku tidak tahu apakah itu benar-benar menyenangkan bagi ayah atau karena penghasilan yang lebih besar dibandingkan menjadi petani salak didesa kami. Mungkin itu adalah satu-satu pilihan pekerjaan bagi ayah untuk menghidupi kehidupan kami disini, didesa Srumbung,Magelang dekat kaki Gunung Merapi dimana Ibu, aku, dan Rana tinggal.
Ketika sampai di sekolah ternyata kami semua akan melalukan upacara penyambutan untuk para mahasiswa dari salah satu Universitas di Kota Jogja. Selama dua bulan mereka akan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa kami, itulah yang Bapak Kepala Sekolah katakan kepada kami dalam pidato penyambutannya. Aku dan Adikku tentu senang melihat mereka, bukan hanya pakaian mereka yang rapih dengan jas seragam tetapi aku rasa pikiran adikku juga sama denganku, kami senang bertemu orang yang berasal dari luar desa kami. Aku yakin itu merupakan pengaruh dari cerita-cerita yang selalu diberikan oleh Ibu sebelum kami tidur malam. Ibu sering bercerita bagaimana indahnya dunia luar, pantai berpasir putih di Lombok, Danau toba di Sumatera bahkan gedung-gedung bersejarah bergaya Eropa yang aku sendiri tidak dapat membayangkan bagaimana bentuk bangunan itu, yang aku tahu hanya Candi Borobudur yang pernah kudatangi satu tahun lalu bersama Ayah, liburan yang menjadi kebersamaan terakhir kami sebagai satu keluarga satu keluarga. sebulan setelahnya Ayah berlayar dan tidak pernah kembali lagi. Seingatku Ibu diberi tahu seorang kerabat yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Ayah bahwa kapal laut yang membawa Ayah tenggelam karena hamtaman badai dasyat di Samudera Pasifik. Akan tetapi Ibu merupakan orang yang tegar, Beliau sadar bahwa pada akhirnya semua akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sejak saat itu Ibu tetap menceritakan bagaimana kehidupan dunia di luar sana, di negara-negara yang akupun susah untuk menghafalkan namanya. Tentu Ibu juga belum pernah melihat apalagi merasakan ke luar negeri seperti Ayah, tetapi aku sadar Ibu berusaha mewariskan cerita-cerita dari Ayah yang sering Beliau ceritakan ketika kami bersama. Ayah berpesan kepada Kami agar Kami selalu berusaha dengan bersungguh-sungguh jika ingin mendapatkan apa yang Kami impikan, saat Ayah berkata itu, sejenak Aku teringat kata-kata di dinding kelasku, Kelas 6 SDI 1 Srumbung “Man Jadda Wajadda, Siapa yang bersungguh-sungguh pasti mendapatkannya” dan aku menentapkan dalam hati bertekad melaksanakan seperti apa yang ada di kalimat tersebut.
Sudah beberapa hari ini Aku melihat berita di TV, semuanya tentang kondisi Gunung Merapi. Hujan debu dari Gunung Merapi membuat masyarakat di sekitar kaki gunung termasuk Ibu tidak dapat beraktifitas seperti biasa. Hamparan sawah yang menguning, pemandangan kaki Gunung Merapi yang indah dan semilir angin yang membelah sawah adalah pemandangan yang Aku dan Ranang lewati dalam setiap perjalanan pulang. Sungguh indahnya kampung halamanku ini, bumi pertiwi Indonesia negara yang terkenal akan kekayaan alamnya. Terik matahari yang menyengat pada hari itu seolah-olah menantang petani yang sedang bekerja tanpa lelah demi menghasilkan sesuap nasi.
Mulanya Aku merasa biasa saja, tapi obrolan warga yang kudengar di pinggir jalan membuatku terhenyak, mereka mengatakan tahun ini Merapi sepertinya akan merayakan hajat besar. Perumpaan itu berarti Gunung Merapi akan meletus lebih besar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kegalauanku ini bukan berarti aku tidak percaya, tetapi bagi penduduk desa seperti kami, hal ini merupakan suatu pertanda bahwa akan ada bencana besar letusan Gunung Merapi. Dalam hati Aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya di rumah Ibu sudah menyiapkan makan siang untuk Aku dan Rana. Ibu memang selalu menyisihkan waktunya bekerja di ladang saat siang hari hanya untuk makan bersama anak-anaknya tercinta. Kulihat keringat menetes dari dahinya, wajah Ibu tampak terlihat semakin menua, hal itu tampak jelas kerutan mata ditambah badan Ibu yang semakin terlihat kurus sejak sepeninggalan Ayah. Aku tahu Ibu sudah bekerja sangat keras demi menghidupi kehidupan Kami. Beliau tidak ingin Aku dan adikku putus sekolah. Harapan ayah adalah suatu saat nanti Kami bisa mengunjungi negara-negara yang sering Ayah atau Ibu ceritakan di hampir setiap malam.
Tanggal 9 November 2011, ketika Aku dan Rana siap berangkat ke sekolah tiba-tiba terdengar kentungan yang biasa dipakai di desa, biasanya dipakai untuk keadaan darurat saja. Ternyata kepala desa mengumumkan bahwa seluruh penduduk desa harus segera mengevakuasikan diri ke tempat pengungsian yang telah di sediakan oleh pemerintah. Sebagian besar penduduk desa telah mengevakuasikan diri ke tempat yang telah diumumkan, akan tetapi beberapa warga berusaha mempertahankan diri dan bersikeras tinggal, ada juga yang berencana meninggalkan desa setelah bekerja diladang mereka pagi hari. Saat itu Ibu memang terlihat ragu apakah akan meninggalkan desa pada pagi itu atau sore setelah bekerja di ladang. Akhirnya Ibu berkata kepada kami untuk tetap tinggal di rumah sampai ibu kembali dan menyuruhku mempersiapkan barang-barang yang sekiranya perlu dibawa.
Tetapi hari ini aku sangat bersikeras untuk pergi ke sekolah, kali ini aku harus berangkat karena pada hari ini pihak sekolah akan melakukan tes seleksi bagi siswa yang akan mewakili perlombaan tingkat SD se-kabupaten. Melihat semangatku dan mungkin Beliau juga mngerti akan kerja kerasku belajar hingga larut malam mempersiapkan tes tersebut. Ibu menginjinkan dan berpesan agar Aku melakukan yang terbaik dan jangan lupa berdoa. “Lakukanlah yang terbaik apa yang menjadi minatmu, InsyaAllah ALLAH akan mengabulkan doa hamba-Nya yang mau berusaha dan selalu mengingat-Nya” itulah kata-kata ibu sebelum aku berangkat sekolah. sebelum berangkat, Entah mengapa saat itu aku ingin menangis ketika mencium tangan ibu, tapi berusaha menahan air mata jagar tidak jatuh di pelupuk mata, teringat jerih payahnya yang Beliau lakukan untuk Aku dan Adikku, ku. Tidak lupa aku mencubit pipi adikku, gemas melihatnya. Hari ini Rana tidak ikut pergi ke sekolah bersamaku.
Kubolak-balik kertas soal yang ada dihadapanku, tapi hati ini serasa gelisah, aku tidak tahu mengapa, tapi perasaan ini adalah perasaan yang sama pada hari aku mendengar kematian Ayah. Kucoba untuk melawan perasaan gelisah itu, walaupun tidak bisa hilang tapi aku tetap berusaha berkonsentrasi pada soal-soal matematika yang sedang aku kerjakan. Setelah selesai mengerjakan tes tersebut, pikiranku hanya tertuju oleh satu hal yaitu aku ingin segera bertemu Ibu dan Rana. Sampai diujung jalan persimpangan dekat SD, aku melihat segerombolan orang berlarian dengan panik sambil berteriak awan panas, awas awan panas. Jantungku tiba-tiba terasa berhenti berdetak, arah itu ya benar teriakan orang-orang yang berlalian itu berasal dari arah desaku yang lebih dekat dengan Gunung Merapi. Pikiranku kacau, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di tengah kepanikan warga yang berlarian, Kepala Sekolah kami memerintahkan kami para siswa untuk naik ke kendaraan yang akan membawa kami ke tempat yang lebih aman. Kuberanikan bertanya kepada Kepala Sekolah bagaimana dengan Ibu dan adikku di desa sana, Beliau menjawab mungkin mereka sudah dievakuasi, tapi aku tahu jawaban itu terdengar ragu. Sambil berurai air mata yang tidak bisa kutahan lagi,sungguh saat itu dari lubuk hatiku yang terdalam aku berdoa agar Ibu dan Adikku selamat.
Ratusan orang berkumpul, berdesak-desakkan, riuh tangis semakin memperlihatkan kegelisahan mereka. Mungkin mereka juga sepertiku, tidak tahu dimana orang terkasihnya berada. Hingga malam aku belum bertemu Ibu dan adikku, kemana mereka apakah mereka selamat dan sudah ada dipengungsian, tapi jika mereka sudah dipengungsian kenapa aku belum bertemu mereka, setahuku pengungsian ini menampung seluruh warga dari termasuk dari desaku. Mata yang lelah, baju sekolah yang belum berganti, aku paksakan menelan sarapan mie instant yang diberikan di pagi hari oleh para sukarelawan. Tim penyelamat masih berusaha mencari dan menyelamatkan korban awan panas terdasyat selama erupsi Gunung Merapi, itulah yang aku dengar dari pembicaraan ketua posko pengungsian.
Terpisah dari anak-anak yang sedang bersama orang tua mereka, termenung di pojok ruangan sempit bagian bantuan logistik, tiba-tiba Kepala Sekolahku menepukku dari belakang, mungkin memastikan bahwa itu adalah aku. Beliau mengusap rambutku pendekku, lalu memelukku dengan erat, air matanya tidak mampu ia tahan, sambil terbata-bata ia memberitahu bahwa Ibu dan adikku telah tiada karena terkena awan panas letusan kemarin. Kakiku lemas, air mataku sudah terasa panas, tubuhku lemas tak berdaya. Ya Tuhan apakah ini yang Engkau takdirkan kepadaku, Ibu dan adik satu-satunya yang sangat kucintai telah pergi meninggalkan aku sendiri. panas, panas sekali air mata yang mengalir di wajahku, aku tidak dapat berpikir apa-apa lagi. pikiranku hanya tertuju pada ingatan saat aku mencubit gemas pipi adikku, juga di saat-saat terakhir aku mencium tangan Ibu, tangan yang telah membesarkanku, mengorbankan kehidupannya demi kami anak-anaknya. Ibu.....aku ingin sekali memelukmu dengan genggaman erat tanganku, ingin sekali aku mencium keningmu dan berkata aku sangat menyayangimu, Ibu...
Senja di Pantai Parangtritis, 30 Juni 2011
Deburan ombak menyadarkanku, kini telah kuikhlaskan kepergian orang-orang yang tercinta, teringat kata-kata Ibu ketika Ayah meninggal, semua akan kembali kepada Yang Menciptakan. Suatu saat nanti aku yakin akan tiba waktu dimana aku bisa melihat dan merasakan indahnya dunia luar sana, mengunjungi negara-negara yang sering dikunjungi Ayah dan diceritakan Ibu.
Aku berjanji kepada diriku sendiri, tidak peduli karena sekarang aku seorang yatim piatu, sudah kutancapkan dalam hati dan kutilis dalam buku catatanku dengan pena pemberian Ayah bahwa aku akan bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik untuk pencapaian cita-cita, harapan dan impianku sesuai amanat yang telah diberikan Ayah dan Ibu, nasihat itu kutanamkan dalam hati dan keyakinanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanks for your comment ^_^